WELCOME TO BLOG ELYSA ANDELANY

Kamis, 28 April 2011

KAITAN ANTARA PEMBANGUNAN INDONESIA DENGAN KEBIJAKAN HUTANG LUAR NEGERI


Pembangunan merupakan upaya untuk mengubah kehidupan masyarakat setara lebih baik. Pembangunan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan seluruh sumber daya alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki untuk memperoleh tingkat kesejahteraan yang memadai bagi seluruh warganya. Di dalam melaksanakan pembangunan tersebut, adakalanya sebuah negara tidak memiliki modal untuk melakukannya. Makanya, di dalam teori pembangunan kemudian disebutkan melalui konsep pembangunan berbasis hutang luar negeri.
Skema pembangunan berbasis hutang  luar negeri ternyata manjur untuk membangun kembali Inggris dari keterpurukan. Keberhasilan ini kemudian diteoretisasikan melalui konsepsi Harold dan Domar dalam teori pembangunan. Makanya, konsep dan praksis pembangunan berbasis hutang luar negeri lalu menjadi model. Banyak negara yang mengadopsi sistem pembangunan berbasis hutang luar negeri.
Di awal pembangunan, tampaknya skema hutang luar negeri ini akan berhasil. Banyak infrastruktur ekonomi dibangun. Prasarana jalan, pasar, industri, infrastruktur pertanian, perkebunan, tambang dan sebagainya dilakukan dengan sangat getol. Makanya, terjadilah peningkatan pertumbuhan ekonomi yang cukup  memadai.   Dengan  demikian, skema hutang luar negeri dalam proses pembangunan sepertinya berada di jalur yang benar atau on the right track.
Indonesia pun diambang bangkrut hingga akhirnya memaksa pemerintahan harus mengevaluasi kembali program pembangunannya. Hanya sayangnya bahwa program bantuan luar negeri melalui skema hutang luar negeri tersebut sudah menjerat pemerintah Indonesia. Kita sudah tidak lagi memiliki kemandirian dalam membiayai pembangunan. Hingga sekarang kita masih sangat tergantung kepada hutang luar negeri untuk pembiayaan proyek-proyek pembangunan.
Namun demikian, sebagaimana yang diungkapkan oleh Direktur Pembiayaan Luar Negeri Multilateral bahwa pemerintah sudah berusaha secara maksimal untuk mengurangi hutang luar negeri. Hanya saja memang masih ada hal-hal tertentu yang memang harus didanai oleh hutang luar negeri untuk mempercepat proses pencapaian targetnya.
Untuk masa mendatang tentu harus menjadi niat semuanya bahwa pembangunan harus dibiayai dengan kemampuan sendiri.

Latar Belakang Global

Pinjaman luar negeri atau utang luar negeri adalah salah satu faktor penghambat bagi pembangunan ekonomi negara dunia ketiga pada saat ini. Beberapa persoalan yang timbul dari utang luar negeri adalah memperlebar jurang antara negara-negara miskin di bagian selatan dan negara-negara kaya di bagian utara, memiskinkan penduduk di negara-negara dunia ketiga,dan sering pula dilihat sebagai sebuah bentuk penjajahan baru. Menurut perhitungan IMF, pada tahun 2006, utang luar negeri dari 146 negara selatan melampaui 2.207 milliar USD dan uang yang harus mereka bayarkan adalah 495.3 milliar USD.  Jumlah ini diakui sendiri oleh IMF bahwa angka ini melampaui kemampuan negara-negara di atas untuk membayar, mengingat nilai di atas sama dengan 80% dari seluruh export barang dan jasa dari negara-negara di atas. 
Data yang ditunjukkan oleh organisasi masyarakat sipil lebih menyedihkan lagi. Menurut data dari Jubilee Debt Campaign, sebuah jaringan yang melakukan advokasi untuk menghapus utang luar negeri negara-negara berkembang, pada tahun 2006, total utang luar negeri negara-negara berkembang adalah 2.9 triliun USD dan pada tahun yang sama mereka membayar 573 miliar USD. Sementara negara-negara paling miskin di dunia, pada tahun yang sama membayar 34 miliar USD kepada negara-negara kaya artinya negara-negara miskin membayar 94 juta USD setiap harinya kepada negara-negara kaya.Perhitungan lain menunjukkan bahwa negara-negara berkembang membayar 13 USD untuk membayar kembali 1 USD dan sekitar 60 negara termiskin telah membayar 550 miliar USD untuk pinjaman pokok dan bunganya, selama 30 tahun terakhir, namun masih berutang 523 milliar USD.
Angka-angka di atas merupakan manifestasi dari sistem ketidakadilan global yang sekarang sedang berlaku di dunia, dimana utang luar negeri adalah salah satu bagian terpenting darinya. Adalah sebuah keprihatinan ketika melihat bahwa di negara-negara yang memiliki utang besar, negara tidak mampu memberikan pelayanan sosial dasar seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, dan lainnya; pada saat yang bersamaan uang yang mengalir ke luar negeri mencapai ratusan juta dollar setiap tahunnya. Meskipun rakyat yang menanggung beban untuk membayar utang luar negeri seperti di atas, tetapi bukanlah mereka yang mengambil keputusan. Kabanyakan dari utang yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional, dan negara-negara Barat, masuk ke kantong para diktator serta kroni-kroninya; seperti Soeharto di Indonesia, Ferdinand Marcos di Filippina, regime apartheid di Afrika Selatan, Agusto Pinochet di Chille dan lainya.
Dengan realitas tersebut, berbagai kalangan akademisi, wartawan dan aktivis internasional melihat utang luar negeri sebagai sebuah bentuk penjajahan baru; diimana utang luar negeri telah memfasilitasi aliran sumber kekayaan dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya. Wartawan dokumenter ternama, John Pilger, bahkan  menyebut utang luar negeri sebagai sebuah bentuk lain dari perang (War by other Means), dimana perang yang tidak terlihat di layar televisi atau berita, perang yang terdiam dan tersembuny, tidak menggunakan senjata dan peluru, tidak ada okupasi militer; tetapi telah membunuh jutaan anak dan orang miskin di seluruh dunia dalam hitungan harinya.

Kondisi Hutang Luar Negeri Indonesia

Hingga tahun 1997, pembangunan di Indonesia selalu dipuji oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Bahkan dalam laporan Bank Dunia pada bulan Juni 1997, Indonesia mendapat predikat keajaiban atau negara yang pertumbuhannya ajaib. Sebelumnya jatuhnya Orde Baru, Bank Dunia selalu memuji prestasi pembangunan ekonomi Indonesia. Bahkan posisi Indonesia ditempatkan sebagai salah satu negara berkembang yang sukses pembangunan ekonominya, tanpa melihat proses pembangunan itu telah merusak dan menghabiskan sumber daya alam yang ada, dan melilitkan Indonesia pada hutang luar negeri yang sangat besar.

Satu hal penting yang dilupakan adalah bahwa semua keberhasilan itu dicapai dengan hutang, sehingga menjadi bumerang ketika Indonesia diterpa krisis pada tahun 1997. Seluruh bangunan ekonomi runtuh, perusahaan-perusahaan bangkrut, pengangguran meledak, kemisikinan meningkat, sementara beban hutang luar negeri semakin berat. Total hutang luar negeri sampai dengan Desember 1998 mencapai US$ 144, 021 milyar, terdiri atas hutang swasta US$ 83, 572 milyar (58,03%). Dengan total penduduk 202 juta jiwa, beban hutang perkapita mencapai US$ 703 pertahun. Artinya setiap bayi Indonesia yang lahir saat itu sudah memikul beban hutang sebesar US$ 303 atau sekitar Rp. 2.400.000,00 pertahun. Dalam laporan diskusi di harian Kompas, diperkirakan Indonesia baru akan dapat membayar lunas hutangnya setelah 50 tahun. Dengan asumsi jumlah total hutang luar negeri Indonesia pemerintah dan swasta sebesar US$ 140 milyar, untuk melunasinya, rakyat Indonesia harus bekerja 24 jam sehari dengan upah Rp. 10.000,00 selama 50 tahun.